Ultras tidak bisa lepas dari tanah italy, Ultras pertama dalam
sejarah Italia adalah sekelompok pendukung klub sepakbola berusia
sekitar 15 sampai 25 tahun yang jelas dapat dibedakan dengan model
klasik pendukung sepakbola dewasa, yang lahir sekitar akhir tahun 1960an
dan awal 1970an. Mereka biasanya berkumpul di bagian paling murah di
stadion, biasanya para ultras italia berkumpul di tribun belakang gawang
yang lebih di kenal dengan CURVA(curva nord, curva sud) dan biasanya
mereka mendapat keringanan tiket oleh klub, dan dengan segera mereka
menjadi sebuah karakter unik dari keseluruhan sepak bola Italia. Mereka
sangat dapat dibedakan dengan penonton biasa yaitu mereka selalu
berkumpul membentuk kelompok- kelompok dengan banner berukuran raksasa
bertuliskan nama kelompok (berdasarkan tempat terbentuknya atau kesamaan
orientasi politik) dan memakai pakaian- pakaian militer (hardcore
ultra) dengan aksesoris wajibnya yaitu parka, sepatu boot Dr. Marten,
pakaian perang dan jaket yang dikalungi syal dengan warna klub yang
mereka cintai. (sangat kontras dengan penampilan supporter di
Indonesia).
Para ultras biasanya mewakili suatu ideologi,
politik, fasisme dan dengan latar belakang yang lain, begitu juga di
italia Peran para ultra dalam perubahan sebuah klub di Italia lebih
besar perannya dibanding para hooligan di tanah Inggris.
Ultras
pertama dan tertua di Italia adalah Milan's Fossa dei Leoni ( Sarang
Singa ) yang didirikan pada tahun 1968, yang kemudian menetap di bagian
paling murah di stadion San Siro di sektor 17. Kemudian pada tahun 1969
muncullah Ultras Sampdoria (kelompok pertama yang menyebut diri mereka
ultras), diikuti oleh "The Boys" dari Inter Milan. Dan pada tahun 1970an
banyak bermunculan ratusan kelompok-kelompok kecil di stadion yang
kemudian membentuk kelompok besar seperti Yellow-blue Brigade Verona,
Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972), Red and
Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino
(1973), For Ever Ultras Bologna (1975), Juventus Fighters (1975), Black
and Blue Brigade Atalanta (1976), Eagle's Supporters Lazio dan Commando
Ultras Curva Sud (CUCS) Roma (1977).
Kode etik ultras
Di
sepakbola Italia, Ultras dikenal sebagai Tuhan didalam stadion,
merekalah yang berkuasa. Biasa bertempat di tribun di belakang garis
gawang, dimana di tribun tersebut memiliki kekhususan, yaitu polisi
tidak diperkenankan berada di tribun ini atau muncul masalah. Seperti
kita lihat pada partai derby, Roma - Lazio, dimana ultras dapat
membatalkan pertandingan dengan isu ada anak kecil yang ditembak polisi.
Di
Italian ultras ini, mereka memiliki tradisi, yaitu pertempuran antar
grup ultras, artinya sah-sah aja kalo salah satu grup ultras berkelahi
dengan grup ultras lainnya, dan sebagai bukti kemenangan, maka bendera
dari grup ultras yang kalah akan diambil oleh sang pemenang. Kode etik
dari ultras lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi ini mengalami
kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor
polisi.
Hal inilah yang membuat salah satu grup ultras
Milan yaitu Fossa Dei Leoni (FDL) dinyatakan bubar, karena menjelang
pertandingan Milan melawan Juventus beberapa musim yang lalu, seorang
tifosi garis keras Milan melambaikan bendera Viking Juve.
Dalam
tradisi ultras Italia, apabila ada grup tifosi lain yang memiliki
flags/banner dari musuhnya, maka berarti bahwa grup tifosi tersebut
berhasil menaklukan atau mempermalukan musuhnya tersebut, tetapi ada
syaratnya, bendera tersebut bukan diperoleh dari dicuri, atau diambil
tanpa sepengetahuan grup ultras lawan tersebut melainkan harus dari open
fight.
Masalah timbul, karena tifosi FDL ini memperoleh
bendera Viking JUVE bukan dari open fight, melainkan dari menemukan di
jalan. Viking JUVE tidak terima dengan hal tersebut, sehingga mereka
mencegat tifosi Milan di Eindhoven setelah partai liga Champions PSV -
Milan, mereka mencegat dengan menggunakan senjata tajam dan berhasil
merebut bendera FdL.
(Viking Juve)
(Banner FDL yang di rebut Viking)
Timbul
masalah, karena hal tersebut, FDL lapor polisi, padahal dalam kode etik
italian ultras, polisi adalah hal yang di haramkan alias A.C.A.B (All
Cops Are Bastar*s). FdL semakin mendapat tekanan dari grup tifo Milan
yang lainnya, seperti Brigate Rossonere, sehingga grup tifosi tertua ini
(196 menyatakan mundur dan membentuk grup baru yaitu Guerrieri Ultras.
Banyak yang bilang, bubarnya FdL juga disebabkan konflik internal,
selama ini FdL lah yang berada di belakang aksi koreografi tifosi Milan,
BRN ingin mengambil peran itu.
(Banner IRRIDUCIBILI Inter-Lazio yang di rebut Viking JUVE)
Kekerasan
juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah ultras di Italia, tetapi
diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam
kehidupannya. Biasanya grup ultras akan bertempat di suatu tribun di
stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso.
Masalah timbul apabila ada seseorang (diluar grup ultras) yang telah
memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang
kebetulan ditempati ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi
ketika grup ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat
duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan
tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar
benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke
lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang
berani melawannya.
Kekerasan Di Sepak Bola Italia
Budaya
kekerasan dalam dunia sepakbola sering diidentikkan dengan kerusuhan
antar suporter maupun perkelahian antar pemain dan ofisial tim.
Pandangan tersebut tidaklah salah hanya saja tidak selamanya sepakbola
itu selalu penuh dengan kekerasan meskipun sepakbola itu sendiri adalah
olahraga yang keras.
Kekerasan dalam sepakbola tersebut
merupakan evolusi dari budaya Ultras dan hooliganisme yang saat ini
telah berkembang ke seluruh penjuru dunia. Hooliganisme tidak hanya
mendorong kekerasan di dalam stadion tetapi juga menyebarkan benih-benih
kekerasan di luar stadion. SEPAK BOLA Italia menyimpan cerita kelam. Di
sana sering kali muncul kericuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa. Berikut kekerasan yang pernah terjadi.
Oktober 1979
Seorang fans Lazio bernama Vincenzo Paparelli meninggal sesudah dilempari bom api dalam derby melawan AS Roma.
Maret 1982
Tifosi
AS Roma, Andrea Vitone tewas karena Romanisti lainnya membakar kereta
yang membawa supporter mereka. Romanisiti melakukannya karena kesal
timnya kalah dengan Bologna.
Oktober 1988
Pecah
kerusuhan antara suporter Inter Milan dengan Ascoli. Nazzareno
Filippini, seorang suporter Ascoli tewas delapan hari sesudah bentrokan
karena luka-luka yang dideritanya sewaktu diserang pendukung Inter.
Januari 1995
Sebelum pertandingan melawan AC Milan, seorang fans Genoa, Vincenzo Spagnolo tewas tertusuk pisau.
Juni 2001
Partai Catania vs Messina membawa korban. Seorang penonton bernama Antonio Curro mati akibat terkena ledakan bom rakitan.
September 2003
Napoli
terpaksa memainkan lima pertandingan tanpa penonton akibat perkelahian
yang muncul di lapangan dalam pertandingan melawan Avellino. Dalam
insiden itu 30 polisi cedera dan seorang fans bernama Sergio Ercolano
tewas terjatuh dari tribun.
Maret 2004
Derby della
Capitale lagi-lagi memicu kerusuhan. Suporter Roma turun ke lapangan
untuk menemui kapten Francesco Totti agar menghentikan pertandingan. Hal
itu dilakukan karena ada rumor polisi membunuh seorang suporter.
September 2004
Pertandingan
antara Roma dan Dynamo Kyiv di Liga Champions ditunda karena wasit
Anders Frisk terluka akibat terkena korek api yang dilemparkan suporter
dari tribun.
April 2005
Kiper Milan, Nelson Dida
cedera setelah dilempati kembang api oleh suporter Inter di dalam
pertandingan perempat final Liga Champions 2004-05. Pertandingan itu
akhirnya dihentikan.
Februari 2007
Seorang polisi bernama Filippo Raciti terbunuh dalam kericuhan antarsuporter Palermo dan Catania
November 2007
Gabriele
Sandri, seorang fans Lazio meninggal karena terkena peluru nyasar yang
ditembakkan polisi untuk meredakan kerusuhan antara suporter Lazio
dengan Juventus.
As Roma Vs Juventus
Ultras
juga tidak cuma bertempur dengan ultras klub rival tapi juga kadang
sesama ultras yang mendukung satu klub tapi beda kelompok kadang juga
saling bentrok satu sama lain. Bahkan saling bunuh membunuh, itu yang
terjadi pada tahun 2007 an sesama ultras milan juga bentrok, antara
anggota Brigade rossonere dengan anggota Comando tigre penyebabnya
gara-gara rebutan pengaruh di curva sud, sama halnya di juventus, sesama
ultras juga ribut, antara Tradizione (ex Fighter) + viking dengan
Drughi yang menyebabkan capo Drughi Dino Rivoli tewas pada saat itu
tahun 2006 after friendly match lawan alessandria, alasannya juga
rebutan pengaruh di curva scirea(curva sud), tapi sekarang masalah
rebutan pengaruh di curva scirea sudah tidak ada seiring kepindahan ex
ultras curva nord ( viking, tradizione,nucleo(N.A.B), gruppo marche 93)
ke curva sud bahkan pas lawan milan mereka bikin koreografi bersama
bentrok ultras sesama club di luar italia juga ada ultras PSG boulougne
boys dengan tigris mystic penyebabnya perbedaan ras, boulougne boys
anggotanya asli orang kulit putih dan anti imigran kalo tigris mystic
kebanyakan imigran dari afrika utara (maroko, tunisia, aljazair) yang
berkulit hitam bahkan bentrokan antara ultras PSG sempat jadi isu
nasional hingga sampe pemerintah perancis membubarkan kedua ultras
tersebut.
Terkadang kalau di fikir memang seperti aneh
ataupun memalukan tapi di dalam dunia ultras dan kefanitakan kejadian
seperti itu adalah hal yang biasa dan jika sesama keluarga ada sebuah
perbedaan prinsip dan ideologi itu hal yang tidak memalukakan dan tidak
pula aneh, walaupun ultras terkadang mengesampingkan akal sehat karna
terkadang terpengaruh alkohol atau pun obat-obatan.
Begitulah
fenomena ultras di italia, terlepas dari segala bentuk
kontrofersialanya para ultras terkadang sangat kreatif dengan
koreografinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar